MARI KITA SEBUT SAJA: PRAGMATISISME PERFORMATIF
- Asia Tenggara selalu dianggap sebagai kawasan yang berada di bawah pengaruh peradaban-peradaban besar dunia: India, Cina, Timur Tengah, dan Barat. Kawasan ini dianggap tidak memiliki sistem pengetahuan yang asli dan otentik, karena tidak memiliki sistem tata tulis yang asli. Kajian sejarah selalu hanya menemukan sistem pengetahuan di Asia Tenggara--agama, filsafat, politik. dll.--diadopsi dari peradaban asing.
- Terkait kajian Asia Tenggara masa lalu, Arkeolog Perancis Pierre-Yves Manguin sering menggambarkan: "Arkeologi bisa terbang, ketika sejarah hanya bisa merangkak." Maksudnya, ketika menggali masa lalu kawasan Asia Tenggara menggunakan pendekatan sejarah dari sumber-sumber tertulis, maka yang akan ditemukan hanyalah pengaruh-pengaruh asing. Arkeolog ahli Asia Tenggara yang lain menakaman situasi ini sebagai "tirani naskah tertulis." Sebaliknya, jika melacak masa lalu Asia Tenggara melelui jalur arkeologi, maka akan ditemukan khazanah kehidupan yang sangat kaya, termasuk adanya sistem pengetahuan yang konprehensif.
- Bukti arkeologis menunjukkan bahwa dari masa yang sangat awal, sebelum berkembangnya peradaban India dan Cina sebagai dua diantara peradaban tertua dunia, masyarakat Asia Tenggara sudah mempu mengembangkan apa yang dikenal sebagai "peradaban air," yaitu tata kelola pengairan baik untuk kebutuhan konsumsi maupun irigasi pertanian dengan kualitas arsitektur yang sangat tinggi, yang membentang dari Liangzhu di Cina selatan, Angkor di Cambodia, hingga ke Bali di Indonesia. Kemampuan membangun peradaban air ini, meskipun tidak disertai dengan sistem alfabet, menunjukkan bahwa masyarakat Asia Tenggara sudah memiliki pengetahuan yang mendalam bukan hanya tentang matematika, hukum alam, hitungan musim, melainkan juga sistem dan rekayasa sosial karena pekerjaan berskala besar memerlukan mobilisasi sumber daya manusia yang sistematis.
- Orientalis Perancis Paul Mus mengemukakan bahwa karya intelektual masyarakat Asia Tenggara diekspresikan tidak melalui tulisan melainkan melalui bangunan dan ritual. Melalui medium non-verbal tersebut kita dapat menggali kekayaan dan dinamika intelektual bangsa-bangsa Asia Tenggara.
- Antropolog Amerika James Scott memperkenalkan konsep metis—sebuah bentuk pengetahuan praktis dan non-formal yang berakar pada pengalaman lokal dan kemampuan adaptif—untuk menggambarkan sistem pengetahuan masyarakat Asia Tenggara. Berbeda dengan sistem pengetahuan formal yang terstruktur, metis lahir dari interaksi langsung dengan ketidakpastian lingkungan dan sosial. Scott berargumen bahwa masyarakat Asia Tenggara telah lama mengandalkan pengetahuan lokal ini, seperti sistem pertanian berpindah, tradisi lisan, dan struktur kekerabatan yang fleksibel, memungkinkan masyarakat mempertahankan otonomi mereka. Pengetahuan ini bersifat desentralistik, diturunkan melalui praktik sehari-hari alih-alih lembaga formal, dan disesuaikan dengan kondisi lokal. Lebih jauh Scott berargumen bahwa metis merupakan pengetahuan berbasis komunitas yang bercorak sentralistik, yang kontras dengan sistem pengetahuan berbasis sistem sentralistik dari negara yang ia sebut episteme.
- Konsep di atas sejalan dengan teori repertoir dari sarjana seni pertunjukan Amerika Diana Taylor sebagai bentuk pengetahuan budaya yang diwariskan melalui praktik tubuh, tindakan, dan pertunjukan—berbeda dengan arsip yang bersifat tertulis dan statis. Repertoire mencakup tradisi lisan, tarian, ritual, gerakan politik, atau bahkan protes jalanan yang hidup melalui pengulangan dan partisipasi. Pengetahuan ini bersifat dinamis, kontekstual, dan sering kali resisten terhadap sistem dokumentasi formal. Taylor menekankan bahwa repertoire terutama penting bagi komunitas yang sejarahnya terpinggirkan. Melalui repertoire, Taylor menantang hierarki pengetahuan Barat yang mengutamakan teks, dengan menunjukkan bagaimana tubuh dan performa merupakan media epistemik yang setara. Sistem pengetahuan repertoir yang berbasis masyarakat dilawankan dengan sistem pengetahuan Arsip yang berbasis negara. Konsep ini juga menyoroti keterbatasan arsip dalam menangkap pengalaman hidup, sementara repertoire mampu menyimpan trauma, kegembiraan, atau resistensi yang tak terucapkan.
- Dalam sejarahnya, masyarakat Asia Tenggara mengadopsi sistem sentralistik--negara dan agama--dari peradaban luar. Melalui sistem sentralistik ini masyarakat Asia Tenggara juga mengadopsi dan mengembangkan episteme dan arsip. Namun demikian, pengaruh sistem sentralistik tersebut lebih banyak berkembang di kalangan elit, sementara masyarakat awam lebih banyak menggunakan metis atau repertoir. Dari sinilah muncul ketegangan epistemologis dalam sistem pengetahuan di Asia Tenggara: di satu sisi, ketika elit ingin mendapatkan legitimasi (tampak lebih unggul dibanding publik sehingga layak berkuasa) mereka akan mengadopsi sistem pengetahuan impor: tulisan, teologi, filsafat, dll; di sisi lain, ketika mereka ingin mendapatkan populisme (dapat diterima oleh publik) mereka akan mengadopsi sistem pengetahuan lokal: tradisi, seni, kekerabatan, dll. Dua tendensi ini merepresentasikan di satu sisi performativitas yaitu legitimasi formal untuk dapat diakui sebagai pengetahuan yang memiliki nilai di hadapan khalayak, dan di sisi lain pragmatisisme dalam arti kemampuan pengetahuan tersebut untuk menyesaikan persoalan yang ada di dunia nyata: personal, komunal, maupun sosial.
- Sepanjang sejarahnya, sistem pengetahuan yang berkembang di Asia Tenggara selalu memuat, dan harus dilihat sebagai selalu memuat, ketegangan antara performativitas dan pragmatisisme ini. Di era pra-kolonial, ketika masyarakat Asia Tenggara mengadopsi budaya dan agama India, Cina, atau Timur Tengah, mereka tidak sedang ingin menjadi--ataupun ingin hidup seperti--orang India, orang Cina atau orang Timur Tengah. Mereka melakukan itu dalam rangka untuk menyelesaikan persoalan dunia nyata yang sedang mereka hadapi: pertarungan politik, keunggulan ekonomi, dominasi sosial, dsb. Dengan mengadopsi sistem asing mereka akan diidentikkan dengan kemajuan, kekuatan, dan keunggulan peradaban asing tersebut. Namun ketika sistem asing tersebut tidak efektif menyelesaikan persoalan di dunia nyata, maka mereka akan dengan santai memodifikasnya, dengan menggabungkan sejumlah komponen dari sistem asing yang berbeda, maupun memadukannya dengan sistem lokal yang ada: Brahmanisme dan Buddhisme di Thailand, Shiwa Buddha di Jawa dan Bali, atau Kejawen di Jawa--belakangan juga ada amalgamasi Katolikisme dan Hinduisme di Filipina dan Marxisme Buddhis di Laos. Di era perjuangan kemerdekaan dari kolonialisme, berbagai ideologi politik dan model negara diadopsi oleh para elit di Asia Tenggara: demokrasi, marxisme, Islam, hingga Buddhisme, namun sistem formal ini hanya berkembang di kalangan elit. Sementara rakyat jelata tetap hidup mengikuti tradisi sebagaimana nenek moyang mereka. Di era modern pasca kolonial, berbagai sistem pengetahuan abstrak maupun praktis diadopsi oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara: berbagai aliran filsafat dari Timur maupun Barat, bebagai model negara dan sistem politik, berbagai sistem ekonomi dan perdagangan, berbagai seni dan budaya populer--semuanya dengan tujuan performatif, supaya mereka bisa tampak dan tampil sebagai bagian dari perkembangan zaman. Namun di balik semua formalitas tersebut, masyarakat Asia Tenggara selalu dihadapkan pada persoalan hidup yang kurang lebih dengan nenek moyang mereka ribuan tahun lalu: persoalan personal dalam hubungan antara pertumbuhan usia dan tanggungjawab sosial, persoalan rumah tangga dengan keluarga dan kerabat, persoalan komunal dengan anggota kelompok, dan persoalan sosial terkait penghidupan ekonomi dan status politik.
- Pragmatisme performatif adalah sistem pengetahuan masyarakat Asia Tenggara, cara masyarakat Asia Tenggara memahami alam, sejarah dan kehidupan, dan harus menjadi cara kita memahami masyarakat Asia Tenggara dan sejarah mereka.
EN
ID